Sejarah Kesultanan Asahan

Asahan adalah sebuah daerah (kabupaten) di Provinsi Sumatera Utara. Pusat pentadbiran Kabupaten Asahan adalah Tanjungbalai yang berjarak ± 180 km dari Kota Medan, Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara. Sampai tahun 1946, Asahan merupakan salah satu Kesultanan Melayu yang struktur kerajaannya tidak jauh berbeda dari struktur negeri-negeri Melayu di Semenanjung Malaka pada masa itu. Namun pada tahun 1946, sistem kerajaan di Asahan telah digulingkan oleh sebuah pergerakan anti kaum bangsawan dalam sebuah revolusi berdarah yang dikenal sebagai Revolusi Sosial. Kesultanan yang ada di Sumatera Timur seperti Deli, Langkat, Serdang, Kualuh, Bilah dan Kota Pinang juga mengalami nasib yang serupa.

Berawal dari sejarah pada abad XV satu keluarga bernama Batara Sinomba serta Putri Langgagani dari Pagaruyung telah datang ke daerah Barumun dan menetap di desa Pinang Awan yang sekarang termasuk Kota Pinang Ibu Kota Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Dari Pasangan itu lahir seorang putra yang bergelar Putra Tuan Batara, yang membuka pemukiman baru sebelah hilir Pinang Awan yang bernama Air Merah (Barumun) dan akhirnya menjadi raja. Raja Air Merah ini mempunyai dua orang istri, dari istri pertama (permasuri raja) dikaruniai dua orang putra dan seorang putri yang bernama Siti Ungu (Siti Unai) yang terkenal dengan kecantikannya, sedangkan dari istri kedua dikaruniai pula seorang putra.

Seiring dengan lajunya perkembangan kerajaan, sang istri kedua telah mengatur strategi agar putra tunggalnya kelak menjadi Raja di Air Merah, untuk itu kedua Putra Mahkota harus segera disingkirkan. Dengan melancarkan fitnah yang keji kedua Putra Mahkota akhirnya dapat disingkirkan. Mereka diusir dengan sebuah perahu agar meningalkan Air Merah dan akhirnya sampai di Bandar Negeri Aceh. Di sana mereka dapat bergaul dengan budi pekerti yang terpuji serta akrab dengan keluarga kerajaan.

Beberapa tahun kemudian, rasa rindu akan kampung halaman mulai menggoda hati Putra Mahkota tersebut dan mereka bersiap untuk kembali ke negerinya Air Merah. Sadar bahwa kepulangan mereka tidak akan diterima, maka mereka membawa serta pengawal yang diperkuat oleh tentara Kerajaan Aceh. Benar sekali dugaan itu, kedatangan mereka disambut dengan suara tembakan yang mana penguasa itu bukan lagi ayahanda mereka, tetapi telah diganti dengan putra dari istri kedua Tuan Batara. Dalam pertempuran itu kekalahan terjadi pada pihak Air Merah dan Rajanya pun mati tertembak. Akibat dari pertempuran ini, rakyat menjadi kacau balau dan Siti Ungu adik mereka tertangkap oleh tentara Aceh. Kedua Putra Mahkota itupun merelakan Siti Ungu dibawa serta ke Negeri Aceh untuk dipersembahkan menjadi Istri Sultan Alaiddin Riayat Syah “Al-Qahhar”.

Setelah putus mufakat, maka pasukan Aceh segera kembali ke Negerinya dengan membawa Siti Ungu, sementara kedua Putra Mahkota melanjutkan pemerintahannya di Negeri Merah dengan bijaksana dan Negeri itupun aman dan makmur.

Beberapa tahun kemudian, Kedua Putra Mahkota itu ingin mengetahui keadaan Siti Ungu di Negeri Aceh. Selanjutnya merekan berangkat menuju Aceh. Dalam perjalanan mereka singgah di Asahan untuk menemui seorang Bomoh yang akan mereka bawa serta ke Negeri Aceh. Bomoh tersebut bernama Bayak Lingga atau Si Karo-karo yang menguasai banyak ilmu kedatuan serta pengetahuan kebahasaan.

Setiba mereka di Negeri Aceh, mereka mendapat sambutan yang baik sekali dari Sultan yang kebetulan pada saat itu mengadakan pertandingan besar dengan tamunya dari kerajaan seberang. Dalam pertandingan tersebut Sultan Aceh kurang beruntung, beliau selalu kalah bertanding. Dengan keahlian tamunya dari Asahan itu, Sultan Aceh kembali menang dan terbalik mengalahkan lawannya dari kerajaan seberang.

Untuk membalas kebaikan tamunya, maka Sultan Aceh menawarkan permintaan apa saja kepada tamunya tersebut. Namun Sultan terperanjat sebab yang mereka minta adalah Siti Ungu untuk mereka bawa kembali ke negerinya. Namun pantang bagi seorang raja untuk mangkir dari janji walaupun pada saat itu Siti Ungu dalam keadaan hamil, raja mengizinkan mereka membawa Siti Ungu dengan empat syarat, yaitu:
1.       Siti Ungu tidak boleh menikah sebelum melahirkan anak.
2.       Apabila bayinya laki-laki agar dijadikan raja.
3.       Siti Ungu hanya boleh menikah dengan Bayak Lingga.
4.       Turut seorang saksi dari Aceh untuk menyertai perjalanan mereka.
Dengan putus mufakat mereka pun berangkat menuju negerinya sementara Siti Ungu, Bayak Lingga beserta saksi Puta  Samakdir singgah di Asahan. Setelah Siti Ungu melahirkan ternyata bayinya adalah seorang putra dan diberi nama Abdul Jalil.

Siti Ungu selanjutnya menikah dengan Bayak Lingga yang diberi gelar Raja Bolon. Dari perkawinan tersebut lahir seorang putra yang diberi nama Abdul Karim kemudian keturunannya bergelar Datuk Muda yang menjadi bahu kanan Sultan.

Ternyata pada saat penobatan Sultan bukan Abdul Jalil yang diangkat, bahkan dia diasingkan ke daerah Batu bara. Atas kejadian itu abdul Jalil mengirim surat kepada Sultan Aceh. Kejadian dalam surat itu membuat Sultan Aceh murka dan serta merta datang ke Asahan.

Kedatangannya diterima dengan baik oleh Raja Bolon dengan mempersiapkan kemah dekat Bandar Pulau sekarang tempat tersebut diberi nama Marjanji Aceh. Dari sana rombongan diperintahkan mengikuti perjalanan ke hilir Sungai Asahan dan akhirnya sampai pada sebuah tanjung dan Sultan memerintahkan agar dibangun Balai tempat Upacara secukupnya untuk tempat penabalan Putranya Abdul Jalil sebagai Sultan Negeri Asahan.

Lama kelamaan balai yang dibangun semakin ramai disinggahi berbagai kapal karena tempatnya yang strategis sebagai bandar kecil tempat melintas ataupun tempat orang-orang yang ingin bepergian ke hulu Sungai Silau. Tempat itu kemudian dinamai Kampung Tanjung dan lazim menyebutnya Balai di Tanjung. Ditemukannya Kampung Tanjung kemudian menjadikan daerah itu menjadi semakin ramai dan berkembang menjadi sebuah negeri.

Penabalan Sultan Abdul jalil sebagai raja pertama Kerajaan Asahan di Kampung Tanjung kemudian memulai sejarah pemerintahan Kerajaan Asahan pada tahun 1630. Dalam catatan sejarah, Kerajaan Asahan pernah diperintah oleh sebelas orang raja, sejak raja pertama Sultan Abdul Jalil pada tahun 1630 sampai dengan Sultan Syaiboen Abdul Jalil Rahmadsyah tahun 1933, yang kemudian mangkat pada tanggal 17 April 1980 di Medan dan dimakamkan di kompleks Mesjid Raya Tanjungbalai. Adapun urutan-urutan Sultan di Asahan tersebut adalah
1.       Sultan Abdul Jalil Rahmadsyah (1930-.......)
2.       Sultan Saidisyah (16...-17....)
3.       Sultan Muhammad Rumsyah (17...-1760)
4.       Sultan Abdul Jalil II (1960-1965)
5.       Sultan Dewasyah (1965-1805)
6.       Sultan Moesasyah (1805-1808)
7.       Sultan Alisyah (1808-1813)
8.       Sultan Muhammad Husinsyah (1813-1859)
9.       Sultan Ahmadsyah (1859-1888)
10.    Sultan Muhammad Husinsyah II (1888-1915)
11.    Sultan Syaiboen Abdul Jalil Rahmadsyah III (1933-1980)
12.    Sultan Kamal Abraham Abdul Jalil (1980-sekarang)